Rabu, 20 Oktober 2010

Kampung Urug

PROFIL

Kampung Urug adalah sebuah kampung adat yang terletak di sebuah lembah yang subur dan masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata "Guru" berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah "digugu dan "ditiru", artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya.
Riwayat Kampung Urug :
Urug bukan terucap nama dengan begitu saja, dibalik kata itu tersembunyi kata “GURU“. Menurut pikukuh adat kepercayaan Kampung Urug, sudah berdiri sejak 450 tahun yang lalu, adanya sebuah mandala urug dengan masyarakatnya yang berpegang teguh kepada adat istiadat akan memegang suatu keteladanan kesundaan.
Menurut cerita Kampung Urug sejaman dengan masa pemerintahan Prabu Nilakendra (1551 – 1569 M ) beliau seorang raja alim dan bijaksana dan banyak mengabdi pada hal-hal kegaiban, konon sisa-sisa pengabdiannya diantaranya patilasan raja masih ada di Kampung Urug, umumnya patilasan disebut Kabuyutan atau mandala yaitu suatu tempat yang jauh dari keramaian yang dijadikan tempat berkhalwat atau memuja sang maha pencipta adalah mungkin hal ihwal mula adanya mandala urug dimulai dari Gedong Ageung. Menurut data yang ada Kampung Adat Urug mempunyai tingkat kunjungan wisata rata-rata 80-100 orang setiap bulan dan jika pada hari-hari besar bisa mencapai 600-800 orang per hari.
Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Pajajaran Jawa Barat. Bukti dari anggapan tersebut di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, beliau menemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.
Kampung Urug menurut Abah Kolot (Kepala Adat di Kampung Urug) yang dipercaya masih merupakan penerus Kerajaan Padjajaran generasi ke-11 dari keturunan Prabu Siliwangi ke-2, yang merupakan Raja ke-5 Kerajaan Padjajaran. Bahwa Kampung Urug merupakan walikan aksara dan juga Pancer Bumi atau pusat bumi atau bisa jadi pusat dari kasepuhan adat pedalaman masyarakat keturunan Padjajaran.
Asal kata Padjajaran sendiri berasal dari sebuah pohon yang berada di wilayah Bogor waktu itu, beberapa literatur mengatakan adalah pohon Paku Djajar. Pohon tersebut ditebang oleh 200 orang Arab, saat penebangan berlangsung 160 orang Arab tersebut menghilang tidak diketahui rimbanya. Yang tersisa hanyalah 40 Orang yang keturunannya sekarang ini dipercaya menempati pedalaman desa Kenekes atau yang lebih kita kenal dengan Baduy.
Kepemimpinan :
Sebuah rumah besar/ Gedung Ageung yang merupakan sentral/pusat kewenangan kepemimpinan adat, disamping itu terdapat pula Gedong Alit dan Gedong Pangkaleran. Ada 3 kepemimpinan yang mengendalikan keberadaan kampung adat ini antara lain :

• Kikolot Ukat atau disebut juga Kokolot Leubak, mempunyai tugas mengendalikan dan mempertahankan adat istiadat yang sudah turun temurun antar lain : Acara seren taun, ruwatan, hari – hari besar kaum muslimin dan memimpin kegiatan yang dianggap sakral.


• Kikolot Amat atau disebut juga Kokolot Tengah, bertugas mengatur masyarakat, pengerahan masa dan memberikan petunjuk bagi kesepakatan adat yang sedang dijalankan.
• Kikolot Tengah bernama Rajaya.
Kekerabatan :
Masyarakat Kampung Urug satu sama lain adalah masih saudara, di kampung ini dikenal dengan sebutan Tatali Kahuripan.
Kehidupan sehari-hari masyarakat bergantung pada sistem pertanian tradisional. Masyarakat umumnya memanfaatkan hutan dan lahan dalam berbagai cara, yaitu seperti huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun. Adapun hasil utama pertanian masyarakat kasepuhan adalah padi lokal dan biasanya sebagai rasa syukur setiap selesai panen dilakukan pesta panen seren taun.
Arsitektur bangunan :
Bentuk rumah yang bercirikan pada tradisi kesundaan ( julang ngapak dan jago anjing ).
Bahan Bangunan :
• Tatapakan :Untuk tatapakan digunakan batu alam yang utuh.
• Golodog : Golodog terbuat dari beberapa lempengan kayu yang disusun berundak-undak.
• Bilik/dinding : Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu.
• Hateup/atap : Atap terbuat dari daun kiray.
• Palupuh/lantai : Lantai terbuat dari bambu yang dibelah-belah menjadi lempengan-lempengan kecil dan panjang, kemudian dirangkai.
• Lalangit/plafon : Plafon terbuat dari bilik bambu yang dianyam.
• Panto/pintu : Pintu berbentuk empat persegi panjang, terbuat dari kayu.
• Jandela/jendela : Setiap jendela memakai kisi-kisi yang terbuat dari bilah-bilah kayu atau bambu.

TRADISI
Selain sejarah yang membuat kampung ini terkenal terdapat berbagai tradisi yang masih dilakukan oleh para penduduknya seperti,
• Upacara Seren Taun adalah upacara yang dilaksanakan setelah panen setiap tanggal 10 Muharram.
• Salametan Ngabuli ( upacara tutup taun) dilaksanakan pada bulan Muharram di Gedong Sanghyang Tunggal.
• Upacara rewah dilaksanakan setiap tanggal 12 Rewah.
Tujuannya adalah untuk “rewah” pada Nabi Adam, memperingati karuhun Adam dan keturunannya.
• Salametan Maulud dilaksanakan setiap tanggal 12 Maulud di ruang pancaniti gedong sanghyang tunggal. Selamatan ini adalah untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW.
• Upacara sedekah Bumi tidak dipastikan kapan harus dilaksanakan, hanya saat waktu mau tebar saja setahun sekali pada hari rabu.
• Upacara Salametan Puasa dan Lebaran diadakan sehari sebelum bulan ramadhan dimulai. Setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, masyarakat melaksanakan selametan lebaran.
• Pemilihan Kikolot atau pemimpin desa adat berasal dari upeti dan ilham-ilham dari kekuatan sekitar.




Dan berbagai pantangan-pantangan atau biasa disebut pamali sebagai berikut,
• Pantang bagi masyarakat Urug untuk mengurus padi pada hari Senin
• Pantangan bagi petani Urug untuk pergi ke ladang atau sawah di hari Jumat.
• Ada anggapan "haram" hukumnya menyatukan padi yang belum dikeluarkan zakatnya ke leuit dicampurkan dengan padi yang lama. (Hal ini terjadi semenjak masuknya Islam ke kampung Urug)
Pamali seperti pada poin pertama dan kedua terjadi karena tingkah laku masyarakat Urug dalam bertani, takkan pernah lepas dari kisah Nyi. Sari Pohaci atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Urug yang diwakili kokolotnya, Dewi Sri adalah putri dari Eyang Prabu yang meninggal saat usianya masih muda dan belum sempat menikah. Saat mendapatkan menstruasi pertama kali, darahnya tidak pernah berhenti sampai akhirnya meninggal dunia.
Menurut mereka, Dewi Sri mendapat haid pertama kali pada hari Senin, makanya pantang bagi masyarakat Urug untuk mengurus padi pada hari tersebut. Sedang pada hari Jumat, darah menstruasinya disiram dengan air dan jatuh ke bumi. Hari Jumat inilah merupakan pantangan bagi petani Urug untuk pergi ke ladang atau sawah. Di hari ini sebagian besar penduduk yang masih menjaga tradisi para karuhun tidak akan pergi ke sawah, khususnya para pemegang adat.

Sumber: http://saloute.multiply.com/journal/item/36/Menelusuri_Jejak_Kerajaan_Padjajaran_di_Kampung_Urug
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/07/kampung-urug-masih-keturunan-prabu.html
http://my.opera.com/mrtaufik/blog/2008/03/01/kisah-nyi-pohaci-dan-budaya-padi-versi-kampung-urug-bogor

OPINI
Pendapat kami setelah melihat data dan penjelasan kampung Urug dari berbagai sumber yang mayoritas internet adalah bahwa ternyata kampung adat ini memang telah terkena sapuan globalisasi, dan hebatnya para penduduk adat di sana masih tetap mempertahankan adat istiadatnya yang sudah berumur ribuan tahun ini. Artikel yang mengatakan bahwa penduduk dan pemimpin kampung ini masih keturunan dengan Prabu Siliwangi dan kerajaan Padjadjaran. Adalah bisa jadi di kampung ini adalah bekas pusat pemerintahan dari kerajaan itu, meski ada pula yang mengatakan pusatnya berada di kota Bogor, saya sendiri masih belum tahu pasti. Entahlah suatu saat pasti akan ada penelitian-penelitian mengenai itu. Di era 2000-an pernah terdengar publikasi mengenai letak Istana Padjajaran. Saat itu kalau tidak salah Menteri Agama yang menjabat di era itu menyebutkan bahwa ada sesuatu yang sangat bernilai di situs Batu Tulis Ciarenteun. Tapi perlahan publikasi itu surut dan belum menemukan titik terang.
Pada kesimpulannya, kampung Urug memang harus dipertahankan sebagai mana mestinya. Bukan hanya untuk mendatangkan wisatawan yang akan menjadi pundi-pundi ekonomi daerah, tapi juga sebagai pengingat bahwa sesungguhnya kita tidak hanya krisis identitas secara nasional saja, krisis identitas secara suku dan adat istiadat pun kita masih mengalaminya.